Jujur, awalnya aku cuma iseng. Duduk di depan laptop, kopi dingin bersanding dengan notifikasi marketplace yang tiba-tiba ramai—aku berpikir, “Kenapa nggak coba impor dari China aja?” Dari iseng itu berubah jadi perjalanan penuh drama: copy-paste chat supplier, negosiasi via WeChat sambil ngetik pake jari pegal, sampai deg-degan menunggu kontainer nyampe pelabuhan. Di sini aku mau curhat soal pengalaman impor dari supplier China sampai urusan branding di toko online, lengkap dengan tips yang aku pelajari dari kesalahan (dan keberhasilan) sendiri.
Kenapa aku pilih impor dari China?
Aku pilih China bukan karena modemnya cepat (sayangnya nggak ada hubungannya), tapi karena variasi produk dan harga yang sulit ditandingi. Bayangin, dari mainan lucu sampai aksesoris rumahan ada semua. Suasana pertama kali browsing itu seperti berada di pasar malam tanpa harus keluar rumah—cuma bedanya semua produknya pakai foto studio dan kadang captionnya lebay. Emosi aku campur aduk: excited, tapi juga skeptis. Karena murah belum tentu bagus, dan murah plus murah itu bisa berarti bencana review 1 bintang.
Nyari supplier: drama dan tips
Oke, ini bagian paling banyak drama. Awalnya aku pakai Alibaba dan AliExpress buat cek supplier. Tips penting: selalu minta sample dulu. Sampel itu ibarat test date sebelum pacaran serius—bisa nunjukin compatibilty (kualitas), ukuran, warna, sampai packing. Kalau supplier nggak mau kirim sample atau minta biaya sampel yang nggak masuk akal, stop. Ada juga platform alternatif dan agen sourcing yang membantu beli dari 1688 (lebih murah) bila kamu mau repot ribet komunikasi.
Satu lagi, perhatikan komunikasi. Supplier yang baik biasanya responsif, jelas, dan bisa kasih sertifikat bila produk butuh sertifikasi. Jangan langsung kirim DP 100% kecuali kamu udah punya track record. Gunakan metode pembayaran aman: trade assurance di Alibaba, PayPal untuk pesanan kecil, atau letter of credit untuk transaksi besar. Dan kalau mau aman, pakai inspeksi pihak ketiga sebelum barang dikapalkan.
Logistik, bea cukai, dan bikin deg-degan
Pas barang udah siap, drama logistik mulai. Pilih antara udara (cepat, mahal) atau laut (murah, lama). Aku pernah kebagian kontainer terlambat karena cuaca dan rasanya tangan selalu di dada. Tips penting: hitung biaya landing cost, bukan cuma harga barang. Ada freight, insurance, bea masuk, PPN, handling di pelabuhan, dan biaya trucking. Pelajari HS code produkmu supaya perhitungan pajak nggak salah—satu digit salah bisa bikin harga melompat dan kamu jadi pengemis harga ke supplier.
Untuk yang merasa pusing, pakai jasa freight forwarder yang bisa handle door-to-door dan urus dokumen. Mereka kayak superhero logistik—kadang kasar, tapi berguna. Aku pernah ketawa kering pas cs forwarder kirim foto gudang penuh kardus dengan caption, “Tenang, semua ada di jalan,” padahal aku baru tidur 3 jam.
Branding di toko online: beda tipis antara laku dan nangis
Setelah barang sampai, pekerjaan belum selesai. Branding itu yang bikin produkmu nggak cuma “sama-sama topi”, tapi punya cerita. Mulai dari nama produk, deskripsi yang enak dibaca, foto yang konsisten, sampai kemasan unboxing yang bikin customer mewek (bahasa halus: puas). Tips praktis: invest di foto produk profesional, sertakan lifestyle shot, dan buat deskripsi yang jawab 3 pertanyaan pembeli: “Ini buat siapa?”, “Kenapa beda?”, dan “Gimana cara pakainya?”
Jangan remehkan packaging. Pernah suatu kali aku tambahin stiker lucu dan kartu ucapan kecil—respon pelanggan langsung berubah jadi bodyguard merek: mereka share unboxing di Instagram tanpa diminta. Buat voice brand yang konsisten, entah santai, lucu, atau meyakinkan. Koleksi review juga emas; minta feedback yang jujur dan tawarkan diskon kecil untuk review setelah pembelian.
Satu link yang berguna selama aku mencari supplier dan referensi produk adalah ajmchinamall, yang bantu aku dapat gambaran supplier dan harga pasar tanpa harus tersesat di lautan katalog.
Intinya, impor itu rollercoaster: ada deg-degan, ada tawa lega, dan kadang bikin mata panda. Tapi kalau sabar, teliti, dan siap berinvestasi di packaging & branding, hasilnya bisa jauh lebih manis daripada kopi pagi. Buat yang masih ragu, mulai dari kecil—sample dulu, jual di satu kanal, kumpulin review. Kalau berhasil, kamu bisa scale up perlahan tanpa harus patah hati. Semoga curhatanku bantu kamu yang lagi mikir mau impor atau baru mulai; kalo mau, kita bisa saling tukar cerita lagi kapan-kapan sambil ngopi virtual.